Selasa, 24 Januari 2017

Tidak sesulit itu



Pernah pada suatu malam ada satu hal yang tiba-tiba terlintas begitu saja, bagaimana bisa sih seseorang tiba-tiba datang menyapa, kemudian saling jatuh cinta, dan tak lama kemudian menghilang begitu saja? Semua terdengar misterius. Darimana asal orang itu, kok tiba-tiba muncul dikehidupan seseorang dan memunculkan perasaan yang aneh? Orang itu pilihan siapa sebenarnya? Gak tau kenapa, tiba-tiba pertanyaan mendasar itu muncul ketika aku mengingat seseorang yang pernah aku cintai. Dulu pernah ada seseorang yang tiba-tiba muncul entah dari mana, dan dengan sapaan ringannya itu telah berhasil membuatku bingung dengan perasaan yang seharusnya tidak datang secepat itu. Padahal sebelumnya hatiku tertutup rapat karena aku pernah memberikan hatiku seutuhnya untuk seseorang di masa lalu. Tapi dia datang, dengan mudah merebutnya dan membuatku jatuh cinta dengan gilanya. Aneh, bukan?

Sebenarnya tidak banyak yang kami lalui, karena dia hanya datang sebentar kemudian pergi. Kedatangan dan kepergiannya itu sangat singkat dan tidak masuk akal. Kenyataan bahwa kami hanya menikmati hujan beberapa kali, kenyataan bahwa hanya dengan pesan singkatnya yang bisa menenangkan hati, aku semakin yakin bahwa jatuh cinta tidak sesulit yang aku pikirkan. Mungkin memang perasaan kami sudah berbeda sekarang, tapi aku bisa menjadikan patokan bahwa aku bisa jatuh cinta semudah itu, bahwa aku bisa melupakan masa laluku semudah itu.

Kini aku percaya, bahwa sesuatu memang terjadi karena sebuah alasan. Mungkin Tuhan punya alasan mengapa menghadirkan dia hanya dengan waktu sesingkat itu. Ya itu tadi, untuk membuka mataku bahwa sebenarnya jatuh cinta itu mudah. Bahwa jatuh cinta itu hanya sesederhana kami menikmati hujan bersama. Ya Tuhan, sungguh aku ingin jatuh cinta lagi…

Ada seorang teman yang pernah memberi nasehat seperti ini “Kalo kamu masih tetap sendiri sampai sekarang, itu tandanya kamu masih belum pantas untuk punya pasangan. Cobalah berpikir positif, jangan terlalu tergesa untuk jatuh cinta lagi. Karena semua ada waktunya. Coba kamu jangan pacaran dulu sampai dua tahun kedepan. Aku rasa itu cukup bagi kamu untuk memperbaiki diri. Terus perbaiki diri, dan orang yang kamu inginkan Inshaallah akan datang.” Dan aku tidak tahu kapan aku bisa merasakan jatuh cinta lagi.

Siapapun yang nantinya akan berbagi payungnya ketika hujan bersamaku, siapapun yang nantinya akan selalu mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, siapapun yang akan mengirimku pesan singkat yang menenangkan, dan siapapun yang akan kucintai lagi, tolong cintai semua kekuranganku. Siapapun kamu nanti, aku akan dengan mudahnya jatuh cinta padamu dan selalu berdoa untuk kita. Aku berjanji akan memperbaiki diri mulai sekarang, sehingga kelak kamu merasa beruntung karena aku milikmu. Dan kamu tidak hanya datang sebentar, tapi terus menemani musim hujanku untuk waktu yang lama, berkali-kali, dan selamanya.

Kamis, 04 Agustus 2016

Kukira aku sudah kehilanganmu



Malam ini begitu dingin. Sambil menyesap susu hangat, jariku mengetik bebas di atas keyboard, entah akan jadi apa tulisan ini. Yang jelas aku sedang memikirkan tentang satu hal yang terasa masih terkunci di hatiku, entah di sudut mana, aku tidak tahu. Yang pasti masih terasa… dalam. Ya, aku dulu menguburnya dengan sangat rapi. Tidak pernah ku jenguk, apalagi ku pupuk. Aku terkejut saat mendapati diriku sendiri bahwa aku belum membuangnya, malah masih menyimpannya secara rahasia. Jauh dalam lubuk hati, yang kadang berdenyut sendiri untuk sekedar mengingatkan, bahwa dulu kami pernah saling mencintai. Denyutannya seperti kode morse yang berbunyi “tolong jangan lupakan aku.”

Tempat rahasia dimana ia menetap memang sungguh dalam. Aku sudah tidak pernah mengungkit hal tentangnya, tidak pernah ingin tahu tentang apa yang ia lakukan sekarang, apalagi memperbaiki hubungan kami agar kembali baik seperti dulu. Aku hanya berusaha untuk berdamai dengan tetap menyimpannya, lalu menciptakan kenangan diatas tempat rahasia itu agar tertimbun semakin dalam. Sedikit pun aku tidak pernah melupakannya. Hanya saja aku berusaha untuk membedakan perasaan antara dulu dan sekarang. Yang aku tahu, sekarang ini kami berteman. 

Tuhan itu Maha membolak-balikkan perasaan. Sekarang ini bisa saja kita mencintai seseorang dengan sangat menggebu, tapi bisa saja perasaan kita akan berubah drastis setahun kemudian. Atau sebaliknya, sangat benci bisa menjadi sangat cinta. Sudahlah terima saja, dalam hidup ini kita tidak berhak menjadi sutradara. Kita hanya artis yang dituntut untuk professional dengan imbalan pelajaran hidup. Seperti halnya dengan kenangan, ia bisa saja bangkit dan merajai hati kita kembali, tidak peduli sedalam apa ia tertimbun.

Ku kira aku sudah benar-benar kehilanganmu. Itu yang terpikir olehku saat mendapati bahwa kamu masih kusimpan, kurindui, ku ingat kenangannya, dan masih bisa tersenyum kepadaku walaupun dalam artian yang berbeda. Ternyata belum, kamu masih disini. Dan Tuhan bisa saja membuatmu bertahta kembali, membuatmu menjadi sosok yang kucintai untuk kedua kalinya...

Kamis, 26 November 2015

Terima kasih (2)

Aku masih terdiam dalam ketidakpercayaanku. Masih belum percaya bahwa.. itukah kamu? Orang yang kubanggakan di depan orang tuaku, teman-temanku, semuanya, bahwa kamu sosok baik yang kupilih sebagai patokan. Kamu sosok yang kukira berbeda, yang akan membahagiakanku nantinya, ternyata kamu diam-diam menyimpan rencana jahat yang dengan seketika menjatuhkanku ke dasar jurang yang sangat dalam. Aku tergores banyak ranting, terbentur bebatuan, kesakitan. Tempat dimana kamu membawaku dan aku berdiri bersamamu, yang kukira adalah surga, ternyata terdapat sebuah jalan berkelok yang berantara dua jurang. Kamu membiarkanku berjalan sendiri melewati jalan itu, tanpa kamu menemaniku, tanpa kamu mengawasiku. Kamu membiarkanku sendirian berjalan di jalan yang kamu pilih untukku. Jalan yang aku tidak tahu akan mengarah kemana, jalan gelap yang aku harap terdapat terang disana, jalan yang kukira akan kita lalui bersama. Bagaimana bisa aku tetap meneruskan permainan yang bukan pertama kalinya? Rasanya aku masih belum bisa terima. Kamu melakukan kesalahan yang sama bahkan lebih fatal. Banyak pertanyaan yang ingin aku lontarkan, tapi percuma. Aku sudah tidak begitu bergairah mempertanyakan tanyaku, karena yang aku tahu pasti: kamu sudah pergi.

Aku hanya ingin bercerita singkat tentang diriku sendiri yang belum terlalu kamu kenal. Aku sudah mulai mencintaimu sejak kamu masih nol, masih belum jadi apa-apa dibanding sekarang. Kamu dulu yang masih malu-malu, menyapaku saat bertemu saja butuh keberanian. Sosok yang mencintaiku, peka dengan apapun gelagatku, peduli, perhatian, dan aku tidak bisa menuliskan betapa bahagianya aku memilikimu saat itu. Betapa beruntungnya aku memilikimu yang benar-benar menerimaku apa adanya, dengan sikapku yang seringkali seperti anak kecil, bisa memahamiku yang suka ngambek karena kangen. Sampai akhirnya saat itu tiba, kita berpisah. Aku berharap kamu akan datang lagi, aku menunggumu bertahun-tahun. Selama bertahun-tahun itu pula kamu datang dan pergi tanpa peduli dengan apa yang aku rasakan. Mungkin kamu pikir hal itu biasa saja, tapi aku menganggap hal kecil yang kamu berikan adalah harapan yang aku pegang. Ya, aku memang selalu menggabungkan apapun yang terjadi dan membenarkan diriku sendiri untuk terus berharap. Hingga pada akhirnya aku sampai pada titik jenuh, aku ingin bahagia tanpa harus melibatkan kamu. Karena yang aku rasakan selama menunggumu bukan bahagia, tapi malah tersiksa. Aku mengatakan secara singkat “aku sayang kamu”. Singkat tapi memiliki makna yang luas. Setelah mengatakan itu aku merasa ringan, aku merasa bisa berjalan dan menemukan cinta baru. And I did. Mungkin memang hal itu harus kulakukan sejak dulu, mengatakan perasaanku padamu yang sebenarnya lalu pergi. Aku membagi perasaanku padamu dan aku merasa ringan. Saat itu yang aku butuhkan hanya kamu untuk mendengarkanku. Aku benar-benar berjalan bahagia dan menemukan penggantimu. Dia membuatku tersadar bahwa jatuh cinta itu indah. Dia membuatku terbangun, memegang tanganku dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Aku berhasil jatuh cinta kepada orang yang bukan kamu. Dia lah yang membuatku terhentak bahwa aku sudah membuang banyak waktu, tidak seharusnya aku menunggumu selama itu, tidak seharusnya aku bersedia kamu jadikan pilihan dari beberapa orang sedangkan di hatiku hanya ada kamu. Dia mengajarkanku semua itu, aku bisa bahagia bahkan ketika tidak ada kamu.


Hingga akhirnya kamu datang lagi, merebut hatiku kembali, dan menjanjikan hal yang sudah dari dulu ingin kudengar darimu. Bahkan tanpa berpikir panjang aku langsung mengatakan “ayo kita mulai berjalan lagi dan memulainya dari awal”. Dan itulah awal dari semua ini. Awal dari semua ketidakpercayaanku, keberantakanku, dan seketika mengubah pandanganku tentangmu. Kamu bermain dibelakangku dan kamu datang di kehidupan orang lain sebagai perusak. Sedangkan  kamu masih dalam ikatan yang seharusnya kamu tepati, bersamaku. Kamu mencari kesalahanku agar bisa bebas memilih siapapun yang baru datang kan? Kamu menyiksaku dengan perubahanmu yang drastis dan tiba-tiba. Sekarang aku mengerti mengapa kamu seperti itu. Kamu menyukai orang lain dan sengaja mengabaikanku agar aku jenuh terhadapmu dan membiarkanku tersiksa hingga mengakhiri semuanya. Ya Tuhan, aku merasa seperti tidak ada artinya, aku merasa dibuang. Akulah yang mencintaimu selama ini, dari dulu, menunggumu, mengabaikan siapapun yang datang karena yakin kamu akan kembali. Cukup, aku sudah kehabisan kata-kata karena apapun yang aku katakan tidak akan mengubah semuanya. Kamu pergi dan memilih yang lain, bukankah sudah cukup jelas? Aku tidak mengerti tentang skenario rancangan Tuhan. Mungkin Ia sengaja memberiku peringatan agar tidak mencintai seseorang terlalu dalam. Seperti aku mencintaimu.

Kamis, 19 November 2015

Terima kasih

Aku masih duduk menghitung waktu, yang entah sudah berapa juta detik, yang kukira kamu ikut menghitungnya disampingku, ternyata kamu hanya duduk manis sambil melihat apa atau siapa yang ada dibelakangmu. Jadi selama ini aku menghitung sendiri sedangkan kamu hanya duduk manis sambil tersenyum yang bukan ke arahku? Ya Tuhan, sebenarnya permainan apa lagi yang sedang terjadi? Aku sudah menghitung hingga jutaan detik dan perlahan membuatku yakin bahwa kamu tetap duduk disini tanpa pergi lagi. Kukira kamu adalah lautan yang sudah bersih tanpa lumut-lumut yang terlihat menjijikkan di permukaan. Ternyata lumut yang selama ini terlihat hanya mengendap sementara di dalam lubuk hatimu dan menyembul marah ke arahku bahkan sebelum aku menyentuhnya. Aku tetap diam tanpa berlari. Membiarkan lumut-lumut murka tepat didepan wajahku, lumut-lumut yang dulunya memang sudah sering menyakitiku, dan membiarkannya menyiksaku hingga puas. Aku bahkan tidak tahu harus menumbalkan apa lagi agar kamu berhenti datang dan pergi tanpa melihat sudah berapa banyak luka yang kamu ciptakan.

Kini aku menulis cerita tentangmu, lagi. Dengan rasa sakit yang tetap sama. Entah ini rasa sakit yang sama atau lebih sakit, aku tidak begitu yakin. Saking terbiasanya. Aku masih tidak bisa berpikir bagaimana bisa aku tidak menyadari bahwa kamu bersandiwara di belakangku, bagaimana aku tidak bisa berpikir jernih saat kamu tiba-tiba datang lagi sebagai penyembuh luka, bagaimana aku sama sekali tidak berpikir bahwa mungkin saja kamu datang hanya untuk menggores luka yang semakin sakit dari sebelumnya, dan mengapa aku begitu mudah percaya dengan semua yang kamu katakan? Bahkan dengan memberi harapan yang pasti saat datang, kamu masih menganggap seolah aku hanya pilihan yang kamu letakkan di nomor sekian. Lantas akan sejahat apa kamu jika tidak memberi harapan yang pasti? Aku bahkan tidak bisa menebak-nebak apa sebenarnya isi tempurung kepalamu itu, siapa dan apa yang ada disana, rencana manis atau busuk apa, atau bentuk struktur isi kepalamu hingga tidak pernah kehabisan ide untuk membuatku jatuh cinta berkali-kali lalu menyakitinya? Aku merasa seperti orang bodoh karena jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang juga memberiku luka berkali-kali. Dan seringkali kamu datang lagi sebagai penyembuh luka. Lucu? Iya. Memang mujarab sekali jika kamu yang datang, karena memang aku mencintaimu. Bukankah seseorang akan bisa melupakan rasa sakitnya jika bersama orang yang dicintainya?

Sekarang aku mendapatkan satu kepastian: kamu berubah dan semakin parah. Perubahan yang membuatku merasa bodoh dan tidak tahu harus mengambil langkah apa lagi di depanmu. Dalam waktu sesingkat ini kamu sanggup menjadi sosok yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Padahal dulu jika aku ditanya seperti apa tipikal pria baik itu, aku menjawab bahwa pria baik itu adalah kamu. Ternyata kamu berubah begitu banyak setelah sekian lama, entah apa dan bagaimana hal itu membuatmu terasa berbeda dimataku. Rasanya jauh dan hambar. Oke, memang manusia tidak mungkin selamanya sama. Bisa saja orang berubah banyak apalagi dalam waktu yang lama. Aku juga akan berubah menjadi orang yang tidak merasakan apa-apa saat memikirkanmu. Aku akan mulai berperan menjadi orang asing yang tidak ada dalam daftar pilihanmu. Ya, seiring berjalannya waktu. Terima kasih sudah membuatku menjadi lebih dewasa. Terima kasih telah membuatku berantakan. Aku mencintaimu, dan kamu kehilangan aku.


Senin, 10 Agustus 2015

Sapaan berjuta kali

Seperti biasa, dia datang sebagai penyembuh luka. Lagi-lagi tersenyum manis dan berkata ringan “boleh aku duduk disini?”. Aku tidak tertegun, tidak tersenyum, juga tidak menolak. Aku memaklumi, dia memang selalu seperti ini. Selalu. Dengan hati yang terasa ringan karena senyumannya aku berkata “duduklah, aku tahu kau hanya singgah.” Akhirnya dia duduk. Aku terus menghitung waktu. Ratusan ribu detik terlewati, waktu belum berhenti dan aku belum merasa lelah ataupun menyerah. Aku masih bergeming, tetap duduk lemas tanpa berani menoleh. Tak bisa kupungkiri bahwa semua berubah sejak dia berkata “hai” untuk kesekian kali. Aku tetap duduk, memejamkan mata karena terlalu lelah. Aku tidak menunggu apapun atau siapapun. Aku hanya bersiap akan dua hal, meringankan hati saat dia berpamitan dan menyiapkan hati saat dia terus duduk disini tanpa pergi lagi. Masih menghitung dalam mata terpejam dan hati yang belum sembuh total, dia akhirnya membuka suara “aku kembali atas lukamu. Aku akan tinggal.” Tanpa menoleh aku menjawab “sementara?”. Dan dia menjawab “belum tahu. Aku ingin terus duduk disini, di kursi ini, berdua denganmu, dan menghitung waktu.” Dia memang berkata "hai" berkali-kali, tapi ini baru pertama kali. Dan ya, aku memiliki plester. Semoga dia menyembuhkan tanpa meninggalkan bekas.

Rabu, 05 Agustus 2015

Masih menghitung

Bercak darah diatas tumpukan salju yang mengasar
Lembayung senja yang menyinar ketika bukan musimnya seolah hanya beberapa kilan diatas kepala
Bisa diraih, dipeluk, dan tidak dibiarkan pergi
Bercak darah yang tetap abadi di berbagai musim tidak pernah menarik perhatian ranting kering untuk mendekat, apalagi banyak pasang sepatu
Ia tetap berwarna merah segar, meski ditumpuk salju tiga bulan, ditumpuk daun kering tiga bulan, disinari matahari terik tiga bulan, dan disinari melalui celah kecil bunga sakura tiga bulan
Ya, sepanjang tahun..

Juga tidak perlu menunggu hingga nuansa coklat-jingga bagi serbuk sari berhembus ke ranah tropis
Tidak perlu menunggu hingga nuansa pink-biru bagi pecinta untuk bercinta
Tidak perlu menunggu hingga kedua jarum jam bertumpuk di duabelas
Ranting kering bisa saja diam-diam menulis diatas pasir biru
Menulis rentetan angka yang membuat waktu berhenti saat itu juga
Orang menyebutnya badai hati
Ya, setiap ada kesempatan menebas pedang yang diasah semenit lalu


Perang berakhir disini

Aku tidak bisa mengatakan bahwa ini kesalahanmu. Karena pada dasarnya aku yang menginginkan untuk menyelam. Entah karena dorongan aku yang terlalu jenuh dengan lautan lama yang berlumut dan mustahil untuk bening kembali atau karena aku memang telah jatuh cinta dengan lautan yang terlihat masih perawan itu. Aku memiliki keraguan diawal, bahkan ketika aku masih menceburkan kakiku hingga betis. Saat itu aku masih dipenuhi air mata dilema yang terus membuatku menengok kearah lautan yang berlumut itu. Bahkan aku sudah tidak sanggup mengeja betapa aku ingin pergi, betapa aku ingin menyelam ke laut yang terlihat menjanjikan itu, dan betapa aku menginginkan suasana baru yang tidak biru. Ditengah kekalutan, aku tidak peduli dengan keadaan sekitar dan mulai berjalan menginjak pasir yang menggilitik telapak kakiku. Deburan lembut ombak saat itu begitu hangat dan menenangkan, seketika menghangatkan seluruh tubuhku bahkan hingga ke lubuk hati, melelehkan sesuatu yang membeku disana. Tunggu apa lagi? Segera saja aku berjalan ke lautan hingga semakin jauh dan semakin dalam hingga tubuhku tenggelam sepenuhnya. Mataku terpejam berusaha menyamarkan air mata yang membulir, karena aku tahu pasti bahwa buliran sekecil itu pasti akan kalah jika melawan air laut seluas itu. Aku berharap air mataku hilang diterjang ombak dan digantikan kebahagiaan. Selamanya. Bukan sesaat. Hatiku merasa ringan karena berbagi air mata dengan lautan itu. Menangis sebanyak apapun pasti segera disapu ombak, begitu pikirku. Aku bisa tersenyum tanpa kepura-puraan, bahkan aku bisa tertawa lepas tanpa beban, tanpa memikirkan apapun yang menyedihkan. Aku mendapati bahwa langit saat itu lebih biru dan lebih cerah. Aku merasakan kebebasan yang tidak pernah aku rasakan sejak tiga tahun terakhir. Lagi-lagi aku berharap itu akan abadi walaupun mustahil. Berkat keterlenaanku, tanpa disuruh aku menyelam dalam dengan penuh harapan dan suka cita. Aku menikmatinya, sungguh! Hingga tidak mendengarkan perdebatan antara hati dan pikiran untuk lebih berhati-hati. Hati berkata bahwa aku harus menyelam karena ini sangat menyenangkan. Tapi pikiranku berkata bahwa tidak seharusnya aku terburu-buru seperti itu, tidak seharusnya aku mempercayai sesuatu yang bahkan baru kuketahui namanya. Aku menutup mata dan telinga dari berbagai nasehat yang mungkin bisa menyelamatkanku jika aku tidak sampai terlalu dasar. Aku mengabaikan semuanya. Juga sengaja membuang pikiran negatif dan menutupnya dengan senyuman dan kenangan manis.


Berantakan. Sakit. Abstrak. Itu kesimpulanku ketika tiba di dasar. Mungkin tidak seharusnya aku berjalan terlalu cepat. Tidak ada artinya, tidak ada harganya, aku. Aku bersama siapa selama ini? Aku sudah menyelam dalam dan kamu malah naik ke permukaan. Memandang langit biru dengan sedikit cahaya matahari yang memantul jika dilihat dari sini, dasar laut, tempat aku berdiri. Berdiri dengan harapan yang menguap seketika saat aku mendapati kamu tidak lagi disini. Aku bahkan tidak tahu kapan kamu pergi, tiba-tiba saja hanya tertinggal jejakmu disini. Aku bahkan tidak bisa menuliskan apa yang aku rasakan saat melihatmu di permukaan, tersenyum memandang langit biru. Lautmu dan langitmu memang terlihat tidak punya ujung. Cakarawala hanyalah ilusi. Karena sebenarnya kalian tanpa batas. Saling menatap satu sama lain, bersama-sama menghitung waktu yang sudah pasti tidak ada habisnya. Filosofi. Semua terlihat jelas, aku melihatnya langsung. Dan aku merasa sangat bodoh. Terserah. Mungkin memang langit jodohnya laut. Mustahil sebenarnya, jika ingin berjodoh jadilah langit. Alias mati. Aku harus bisa menerimanya dan mulai naik ke permukaan secara perlahan. Tidak perlu menunggu hingga menjadi lautan garam, bukan? Memang, siapa yang bertanggung jawab jika tiba-tiba ranting kering menulis ejaan mematikan diatas pasir biru? Kenyataannya aku hanya fatamorgana. Cukup tahu bahwa dia sudah direbut langit. Aku tidak ingin berlama-lama. Aku pergi. Perang berakhir disini.


19 Juli 2015

 
biz.