Indah.
Begitulah orang-orang memanggilku.
Aku hanya seorang
gadis yang beruntung
karena masih bisa
sekolah. Iya! Aku
orang miskin. Ibuku
hanya seorang penjual
gado-gado di depan
rumah. Sedangkan ayahku
hanya seorang sopir
angkot. Penghasilan kedua
orang tuaku hanya
cukup untuk mencukupi
kebutuhanku dan kedua
adikku.
“Kak, itu
kak Shinta sudah
datang.” Kata Roni,
adikku memberi tahu.
“Iya, suruh
masuk dulu aja,
kakak masih mau
siap-siap.” Jawabku seraya
beranjak dari tempat
tidur.
Roni hanya
mengangguk kecil dan
meninggalkan kamarku.
***
Shinta. Dia
adalah temanku. Atau
lebih tepatnya, dia
adalah sahabatku. Aku
dan Shinta satu
sekolah. Sering dia
menjemputku untuk berangkat
bersama dengan Honda
Jazz merah kesayangannya. Alangkah
sempurnanya sosok Shinta!
Dia cantik, baik,
anak orang kaya,
cerdas. Pokoknya dia
sempurna jika dibandingkan
denganku. Di sekolah
pun banyak laki-laki
yang mengejar Shinta.
Termasuk Rio. Hatiku
miris ketika Rio
bertanya-tanya tentang Shinta.
Harusnya Rio menyadari
bahwa aku menyimpan
perasaan terhadapnya. Beruntung
sekali jadi Shinta.
Pikirku. Sudah jelas,
Rio pasti lebih
menginginkan Shinta. Batinku
pahit.
***
Hatiku perih
saat mengetahui Rio
menyatakan cinta pada
Shinta. Aku cemburu,
hatiku sakit. Sudah
jelas kan, bahwa Rio
lebih menginginkan Shinta.
Rasanya sakit untuk
mengakuinya.
Aku ingin
segera pulang, masuk
ke kamar, dan
menangis disana.
***
Bunyi decitan
rem terdengar di
depan rumah Indah.
Itu pasti Shinta.
Pikirku sambil tersenyum.
Tapi senyumku memudar
ketika mengingat tentang
Rio.
Samar-samar aku
mendengar suara Shinta
yang sedang bicara
dengan ibuku.
“Kamu masuk
saja, Shinta. Indah
ada di kamarnya.”
Suara ibuku terdengar
jelas.
“Iya,
bu.” Aku
bisa membayangkan senyum
Shinta yang mengembang
lebar.
“Indah, kenapa
kamu pulang duluan?
Aku menunggumu dari
tadi. Apa kamu
sakit?” tanya Shinta
ketika masuk ke
kamarku. Nadanya terdengar
khawatir.
“Maaf Shinta,
aku kurang enak
badan.” Jawabku asal.
Shinta memegang
pundakku, memintaku untuk
menatapnya.
“Astaga,
kenapa
mata kamu sembab
begini? Kamu menangis?”
tanya Shinta.
Aku hanya
menggelengkan kepala.
“Ck! Kukira
kita sahabat. Ternyata
kamu tidak mempercayaiku.” Katanya
sambil memalingkan wajah.
“Shinta, ku
ucapkan selamat padamu,
semoga kamu bersenang-senang dengan
Rio.” Kataku sambil
tersenyum samar.
Shinta terdiam,
seperti memikirkan sesuatu.
“Indah, kau
menyukai Rio?” tanya
Shinta tersenyum.
“Aku tidak
punya alasan untuk
itu.” jawabku menunduk.
Shinta tersenyum.
“Sudah kuduga
dari awal. Kamu
harus mengetahui yang
satu ini, aku
menolak Rio.” Kata
Shinta tegas ketika
mengucapkan kalimat terakhir.
Aku mengernyitkan
dahi.
“Iya, aku
menolaknya.” Tegas Shinta
lagi.
“Kenapa kau
menolaknya?” tanyaku lirih.
“Karena aku
lebih memilihmu daripada
Rio. Aku lebih
memilih sahabatku daripada
orang yang menganggapku
istimewa. Rio tak
lebih berharga dibandingkan
kamu, Indah. Kamu
selalu ada, sedangkan
Rio tidak. Aku tidak mungkin
berhubungan dengan Rio
sedangkan itu menyakitimu.”
Terang Shinta panjang
lebar. Aku tersenyum
mendengar penjelasan Shinta.
Perlahan, sakit hati
itu menghilang.
“Kau tidak
mempercayaiku?” tanya Shinta.
Aku menggelengkan
kepala.
“Aku mempercayaimu. Dari
awal pun aku
sudah mempersiapkan mental
agar aku tidak
terlalu sakit hati.
Karena Rio jelas
lebih menginginkanmu daripada
aku. Kau jauh
lebih sempurna jika
dibandingkan denganku, Shinta.
Jelasku panjang lebar.
“Tidak ada
yang sempurna di
dunia ini, Indah.
Bagaimanapun aku tetap
menerimamu sebagai sahabatku.
Aku tidak butuh
latar belakangmu, yang
aku butuhkan itu
kamu, KAMU Indah.” Kata
Shinta sambil memegang
pundakku.
Aku pun
memeluk Shinta, dan
Shinta membalas pelukanku.
“Berjanjilah untuk
tetap menjadi sahabatku.”
Kataku tersenyum.
Aku bisa
merasakan anggukan kepala
Shinta.
Aku berjanji
untuk tetap menjadi
sahabatmu.
Kataku dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar