Amanda. Itulah namaku. Nama yang diberikan orang tuaku dengan harapan kelak aku menjadi seseorang yang lemah lembut, setia, jujur, cerdas, dan pantas dicintai. Sesuai arti dari namaku. Aku akan berusaha mewujudkan harapan orang tuaku. Meskipun hanya memiliki seorang Ayah. Aku tidak pernah melihat wajah ibuku, karena beliau meninggal setelah melahirkan aku. Beruntunglah kalian yang masih memiliki Ibu dan keluarga yang lengkap. Aku iri pada kalian! Tak apalah, inilah jalan hidupku. Aku masih memiliki seorang Ayah yang merawatku dari kecil. Ayah, kau pahlawanku!
Aku sangat bangga mempunyai Ayah sepertinya. Meskipun beliau bukan seorang pejabat yang kaya raya, tetapi hanya mengandalkan ladang yang tidak begitu luas. Aku tetap bangga padanya. Bagiku, Ayah adalah sosok sempurna yang ku punya.
“Assalamualaikum.”
Itu suara Ayah!
“Waalaikumsalam, Ayah.”
Aku mencium tangan Ayah.
Ayah mengusap keringat di dahinya sambil tersenyum tulus padaku.
Ayah pasti letih, batinku.
“Kamu tidak belajar, nak?” tanya Ayah.
“Tadi sudah baca buku sebentar, yah. Nanti Amanda belajar lagi. Ayah mau Amanda ambilkan air minum?” tawarku.
“Tidak usah, nak. Ayah ambil sendiri. Kamu belajar saja, siapa tahu kamu kelak menjadi seorang dokter. Biar kamu kelak tidak hidup susah, nak.” Ayah tertawa sambil mengusap rambutku.
Aku ikut tertawa.
“Amanda bersyukur meskipun keadaan kita seperti ini, Ayah. Karena ada Ayah disamping Amanda.”
Ayah tersenyum. Senyum yang selalu aku rindukan.
“Ayah mandi dulu, nak. Belum sholat Ashar. Kamu sudah sholat?” tanya Ayah.
“Sudah Ayah.” Jawabku tersenyum.
“Baiklah, Ayah mandi dulu.”
Aku mengangguk.
Itulah Ayah, selalu sempurna dimataku.
***
“Belajar apa kamu, nak?” tanya Ayah mendekatiku.
“PR Matematika, Ayah. Tapi sudah mau selesai.” Jawabku tersenyum.
Ayah duduk disampingku.
“Kamu belajar yang rajin ya nak. Ayah ingin kamu sukses. Nanti kalau Ayah kembali ke pangkuan yang Kuasa, ayah bisa tenang melihat kamu senang. Kalau Ayah sudah tiada, siapa yang akan menasehati kamu seperti ini? Oleh karena Ayah masih ada, dengarkan nasehat Ayah ya, nak.”
“Ayah ngomong apa sih!” aku cemberut.
“Ayah kan tidak selamanya hidup, nak. Ayah kan sudah tua. Lihat ini kulit ayah sudah mulai keriput.” Ayah menunjukkan tangannya yang memang sudah mulai berkerut sambil tertawa menggodaku.
Aku menatap Ayah, kemudian tersenyum.
“Yah, minggu depan aku sudah berusia 15 tahun lho.” Kataku senang.
“Putri Ayah sudah besar.” Ayah tertawa.
Aku ikut tertawa.
“Kamu sudah besar, Amanda. Kamu harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Selalu utamakan ibadah, dan jangan lupa belajar.” Tutur Ayah.
“Ayah sudah mengatakan itu berulang kali. Iya, Ayah, akan aku lakukan semua nasehat Ayah.” Aku hormat pada Ayah.
Ayah tertawa sambil mengacak rambutku.
***
Jarum jam menunjukkan pukul 5 sore. Ayah belum juga pulang. Kemana Ayah? Pikirku. Aku baru akan menyusul Ayah di ladang ketika Ayah pulang.
“Ayah dari mana? Kok jam segini baru pulang?” tanyaku cemas.
“Uhuk uhuk.. Ayah tadi memberi pupuk pada tanaman kita, nak. Maaf Ayah pulang telat.” Kata Ayah.
“Ayah sakit?” tanyaku khawatir.
“Tidak nak, Ayah tidak apa-apa. Hanya butuh istirahat .” jawab Ayah.
Aku tahu Ayah sakit. Ayah terlihat pucat.
“Amanda buatkan teh hangat ya yah?”
Tanpa menunggu jawaban Ayah, aku langsung ke dapur untuk membuat teh untuk Ayah.
Ketika aku kembali, Ayah sudah berbaring di tempat tidur.
“Ini Ayah teh nya.” Aku membantu Ayah meminum teh.
Sedih rasanya melihat Ayah sakit. Ayah pasti terlalu capek.
“Ayah lapar, nak.” Kata Ayah.
“Amanda ambilkan makan ya yah. Trus Amanda suapin.”
Ayah mengangguk.
Aku mengambil makanan di dapur. Diam-diam aku menangis, sedih melihat kondisi Ayah. Ayah harus sehat!
Aku kembali ke kamar Ayah dan menyuapi Ayah.
Ayah tidak banyak bicara hari ini. Mungkin Ayah memang sangat letih. Aku tidak ingin Ayah sakit.
“Amanda?” panggil Ayah.
“Iya, yah?” aku memegang tangan Ayah.
“Kamu tidur saja, nak. Sudah malam. Kamu besok harus sekolah. Ayah baik-baik saja.” Kata Ayah dengan nafas yang agak sesak.
Aku berusaha menahan tangis.
“Amanda mau nungguin Ayah disini. Amanda besok tidak sekolah. Amanda tidak tega meninggalkan Ayah sendirian di rumah.” Kataku.
“Baiklah, kamu bisa tidur disini sambil lenunggu Ayah ya, nak.” Kata Ayah tersenyum.
“Iya Ayah, Amanda disini menunggu Ayah. Ayah sekarang tidur ya, biar besok bisa sehat.” Kataku sambil menyelimuti Ayah.
Aku menatap Ayah sampai Ayah tertidur.
Aju memegang tangan Ayah dan menatap wajah Ayah yang pucat.
“Ayah cepat sembuh ya?” kataku lirih.
Aku pun tidur sambil memegang tangan Ayah.
***
Kira-kira jam 4 dinihari, tangan Ayah bergerak dan membuatku terjaga.
“Ada apa Ayah?” tanyaku.
“Ayah ingin berwudhu untuk siap-siap sholat Subuh, nak.” Kata Ayah.
“Ayah tayamum aja ya? Ayah jangan banyak gerak dulu.”
Ayah mengangguk.
Aku mengambil air wudhu untuk sholat berjamaah bersama Ayah.
Ayah solat dengan posisi tidur, karena tidak kuat berdiri maupun duduk. Aku semakin sedih melihat kondisi Ayah.
“Allahuakbar”
Ayah mengucap takbir dan aku mengikutinya.
Setelah salam, aku langsung menoleh ke Ayah, aku melihat ayah tertidur.
Mungkin Ayah belum selesai, pikirku.
Aku melipat mukenaku sambil menunggu Ayah. Ayah masih terpejam.
Aku membangunkan Ayah.
“Ayah?” panggilku.
Tidak ada jawaban.
“Ayah belum selesai sholatnya?”
Masih tidak ada jawaban.
Aku mulai panik.
“Ayah?” aku megguncangkan tubuh Ayah.
Ayah tetap bergeming.
Aku berlari keluar rumah dan mencari pertolongan tetangga yang baru pulang dari masjid.
Tetanggaku itu langsung ke rumah untuk melihat keadaan Ayah.
Ketika memegang denyut nadi Ayah, tetanggaku berkata “Innalilahi wainnalilahi roji’un”.
***
Aku memandangi foto Ayah yang sedang merangkulku. Aku menangis. Masih belum percaya bahwa Ayah benar-benar tiada.
Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hembasan terpahat dikeningmu
Kau nampak tua dan lelah keringat mengucur deras
Namun kau tetap tabah
Meski nafasmu kadang tersengal
Memikul beban yang makin sarat
Kau tetap bertahan
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk
Namun semangat tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia
Ayah.. dalam hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
(TitipRinduBuatAyah)
Ya Allah, tolong sampaikan rinduku untuk Ayah.
Amanda sayang Ayah.