Seperti biasa, dia datang sebagai penyembuh luka. Lagi-lagi
tersenyum manis dan berkata ringan “boleh aku duduk disini?”. Aku tidak
tertegun, tidak tersenyum, juga tidak menolak. Aku memaklumi, dia memang selalu
seperti ini. Selalu. Dengan hati yang terasa ringan karena senyumannya aku
berkata “duduklah, aku tahu kau hanya singgah.” Akhirnya dia duduk. Aku terus
menghitung waktu. Ratusan ribu detik terlewati, waktu belum berhenti dan aku
belum merasa lelah ataupun menyerah. Aku masih bergeming, tetap duduk lemas
tanpa berani menoleh. Tak bisa kupungkiri bahwa semua berubah sejak dia berkata
“hai” untuk kesekian kali. Aku tetap duduk, memejamkan mata karena terlalu
lelah. Aku tidak menunggu apapun atau siapapun. Aku hanya bersiap akan dua hal,
meringankan hati saat dia berpamitan dan menyiapkan hati saat dia terus duduk
disini tanpa pergi lagi. Masih menghitung dalam mata terpejam dan hati yang
belum sembuh total, dia akhirnya membuka suara “aku kembali atas lukamu. Aku
akan tinggal.” Tanpa menoleh aku menjawab “sementara?”. Dan dia menjawab “belum
tahu. Aku ingin terus duduk disini, di kursi ini, berdua denganmu, dan
menghitung waktu.” Dia memang berkata "hai" berkali-kali, tapi ini baru pertama kali. Dan ya, aku memiliki plester. Semoga dia menyembuhkan tanpa meninggalkan bekas.
Senin, 10 Agustus 2015
Rabu, 05 Agustus 2015
Masih menghitung
Bercak darah diatas tumpukan salju yang mengasar
Lembayung senja yang menyinar ketika bukan musimnya seolah hanya beberapa kilan diatas kepala
Bisa diraih, dipeluk, dan tidak dibiarkan pergi
Bercak darah yang tetap abadi di berbagai musim tidak pernah menarik perhatian ranting kering untuk mendekat, apalagi banyak pasang sepatu
Ia tetap berwarna merah segar, meski ditumpuk salju tiga bulan, ditumpuk daun kering tiga bulan, disinari matahari terik tiga bulan, dan disinari melalui celah kecil bunga sakura tiga bulan
Ya, sepanjang tahun..
Juga tidak perlu menunggu hingga nuansa coklat-jingga bagi serbuk sari berhembus ke ranah tropis
Tidak perlu menunggu hingga nuansa pink-biru bagi pecinta untuk bercinta
Tidak perlu menunggu hingga kedua jarum jam bertumpuk di duabelas
Ranting kering bisa saja diam-diam menulis diatas pasir biru
Menulis rentetan angka yang membuat waktu berhenti saat itu juga
Orang menyebutnya badai hati
Ya, setiap ada kesempatan menebas pedang yang diasah semenit lalu
Lembayung senja yang menyinar ketika bukan musimnya seolah hanya beberapa kilan diatas kepala
Bisa diraih, dipeluk, dan tidak dibiarkan pergi
Bercak darah yang tetap abadi di berbagai musim tidak pernah menarik perhatian ranting kering untuk mendekat, apalagi banyak pasang sepatu
Ia tetap berwarna merah segar, meski ditumpuk salju tiga bulan, ditumpuk daun kering tiga bulan, disinari matahari terik tiga bulan, dan disinari melalui celah kecil bunga sakura tiga bulan
Ya, sepanjang tahun..
Juga tidak perlu menunggu hingga nuansa coklat-jingga bagi serbuk sari berhembus ke ranah tropis
Tidak perlu menunggu hingga nuansa pink-biru bagi pecinta untuk bercinta
Tidak perlu menunggu hingga kedua jarum jam bertumpuk di duabelas
Ranting kering bisa saja diam-diam menulis diatas pasir biru
Menulis rentetan angka yang membuat waktu berhenti saat itu juga
Orang menyebutnya badai hati
Ya, setiap ada kesempatan menebas pedang yang diasah semenit lalu
Perang berakhir disini
Aku tidak bisa mengatakan bahwa ini kesalahanmu.
Karena pada dasarnya aku yang menginginkan untuk menyelam. Entah karena
dorongan aku yang terlalu jenuh dengan lautan lama yang berlumut dan mustahil
untuk bening kembali atau karena aku memang telah jatuh cinta dengan lautan
yang terlihat masih perawan itu. Aku memiliki keraguan diawal, bahkan ketika
aku masih menceburkan kakiku hingga betis. Saat itu aku masih dipenuhi air mata
dilema yang terus membuatku menengok kearah lautan yang berlumut itu. Bahkan
aku sudah tidak sanggup mengeja betapa aku ingin pergi, betapa aku ingin
menyelam ke laut yang terlihat menjanjikan itu, dan betapa aku menginginkan
suasana baru yang tidak biru. Ditengah kekalutan, aku tidak peduli dengan
keadaan sekitar dan mulai berjalan menginjak pasir yang menggilitik telapak
kakiku. Deburan lembut ombak saat itu begitu hangat dan menenangkan, seketika
menghangatkan seluruh tubuhku bahkan hingga ke lubuk hati, melelehkan sesuatu
yang membeku disana. Tunggu apa lagi? Segera saja aku berjalan ke lautan hingga
semakin jauh dan semakin dalam hingga tubuhku tenggelam sepenuhnya. Mataku
terpejam berusaha menyamarkan air mata yang membulir, karena aku tahu pasti
bahwa buliran sekecil itu pasti akan kalah jika melawan air laut seluas itu.
Aku berharap air mataku hilang diterjang ombak dan digantikan kebahagiaan.
Selamanya. Bukan sesaat. Hatiku merasa ringan karena berbagi air mata dengan
lautan itu. Menangis sebanyak apapun pasti segera disapu ombak, begitu pikirku.
Aku bisa tersenyum tanpa kepura-puraan, bahkan aku bisa tertawa lepas tanpa
beban, tanpa memikirkan apapun yang menyedihkan. Aku mendapati bahwa langit
saat itu lebih biru dan lebih cerah. Aku merasakan kebebasan yang tidak pernah
aku rasakan sejak tiga tahun terakhir. Lagi-lagi aku berharap itu akan abadi
walaupun mustahil. Berkat keterlenaanku, tanpa disuruh aku menyelam dalam
dengan penuh harapan dan suka cita. Aku menikmatinya, sungguh! Hingga tidak
mendengarkan perdebatan antara hati dan pikiran untuk lebih berhati-hati. Hati
berkata bahwa aku harus menyelam karena ini sangat menyenangkan. Tapi pikiranku
berkata bahwa tidak seharusnya aku terburu-buru seperti itu, tidak seharusnya
aku mempercayai sesuatu yang bahkan baru kuketahui namanya. Aku menutup mata
dan telinga dari berbagai nasehat yang mungkin bisa menyelamatkanku jika aku
tidak sampai terlalu dasar. Aku mengabaikan semuanya. Juga sengaja membuang
pikiran negatif dan menutupnya dengan senyuman dan kenangan manis.
Berantakan. Sakit. Abstrak. Itu kesimpulanku ketika tiba
di dasar. Mungkin tidak seharusnya aku berjalan terlalu cepat. Tidak ada
artinya, tidak ada harganya, aku. Aku bersama siapa selama ini? Aku sudah
menyelam dalam dan kamu malah naik ke permukaan. Memandang langit biru dengan
sedikit cahaya matahari yang memantul jika dilihat dari sini, dasar laut,
tempat aku berdiri. Berdiri dengan harapan yang menguap seketika saat aku
mendapati kamu tidak lagi disini. Aku bahkan tidak tahu kapan kamu pergi,
tiba-tiba saja hanya tertinggal jejakmu disini. Aku bahkan tidak bisa
menuliskan apa yang aku rasakan saat melihatmu di permukaan, tersenyum
memandang langit biru. Lautmu dan langitmu memang terlihat tidak punya ujung.
Cakarawala hanyalah ilusi. Karena sebenarnya kalian tanpa batas. Saling menatap
satu sama lain, bersama-sama menghitung waktu yang sudah pasti tidak ada
habisnya. Filosofi. Semua terlihat jelas, aku melihatnya langsung. Dan aku
merasa sangat bodoh. Terserah. Mungkin memang langit jodohnya laut. Mustahil
sebenarnya, jika ingin berjodoh jadilah langit. Alias mati. Aku harus bisa
menerimanya dan mulai naik ke permukaan secara perlahan. Tidak perlu menunggu
hingga menjadi lautan garam, bukan? Memang, siapa yang bertanggung jawab jika tiba-tiba ranting kering menulis ejaan mematikan diatas pasir biru? Kenyataannya aku hanya fatamorgana. Cukup tahu bahwa dia sudah direbut langit. Aku tidak ingin berlama-lama. Aku pergi.
Perang berakhir disini.
19 Juli 2015
Langganan:
Postingan (Atom)