Dilihat dari judulnya saja sudah terdengar konyol. Jelas,
hal itu tidak mungkin ada. Jika ada, aku akan menghabiskan seluruh hidupku
untuk berguru pada Victor Frankenstein dan mempelajari cara menciptakan atau
menghidupkan kembali manusia. Atau aku akan mempelajari tentang kasus
pembunuhan zodiak dimana pembunuhnya mengandalkan zodiak untuk menciptakan
manusia baru yang sempurna. Misalnya, bagian tubuh yang sempurna dari seorang
Capricorn adalah matanya. Maka si pembunuh akan mengincar orang yang berzodiak
Capricorn, membunuhnya, dan mencongkel matanya. Bagian tubuh yang sempurna dari
seorang Aquarius adalah tangannya. Maka si pembunuh akan mengincar orang yang
berzodiak Aquarius, membunuhnya dan memotong tangannya. Jika bagian tubuh dari
ke 12 zodiak sudah terkumpul, maka si pembunuh akan merekatkan
potongan-potongan tubuh tesebut dengan lem yang terbuat dari ramuan khusus.
Setelah hasil karyanya tercipta, si pembunuh akan memasukkan roh iblis di
manusia baru tersebut. Jika roh iblis itu diganti dengan roh orang yang kita
cintai, pasti akan lebih sempurna. Kita akan merasa lebih bebas mencintainya
dan melakukan apa saja, karena itu adalah karya seni kita sendiri. Setidaknya
itu yang terpikir olehku saat membaca cerita ini. Oke, kembali lagi pada cerita
Frankenstein. Dalam cerita ini mengisahkan tentang seorang yang melakukan
penelitian menghidupkan individu yang telah mati. Ceritanya hampir mirip dengan
film Lazarus Effect yang baru-baru
ini kutonton. Di film Lazarus Effect
lebih modern, mereka menggunakan teknologi canggih dalam penelitannya. Mereka
menggunakan serum khusus yang disuntikkan ke objek terlebih dahulu lalu dialiri
listrik dengan jumlah Joule tertentu. Cerita Frankenstein terjadi di tahun 1700.an jadi
fasilitasnya masih sederhana dan di sekujur tubuh si objek penuh dengan
jahitan. Victor Frankenstein memanfaatkan energi listrik dari beberapa ekor
belut listrik. Setelah objek tersebut berhasil hidup kembali, Frankenstein
merasa ketakutan dan membuang hasil karyanya. Namun objek tersebut selamat dan
menjadi zombie yang hidup selama beratus tahun. Tapi zombie itu masih punya
perasaan, buktinya dia berusaha menyelamatkan temannya (kelihatannya dia suka
sama temannya itu) dari Naberius. Hebat, bukan? Victor Frankenstein melakukan
penelitian ortodoks yang menghasilkan zombie dan zombie itu masih punya
perasaan.
Entah kenapa aku jadi berpikir fantasi karena cerita-cerita itu. Aku jadi
berimajinasi seandainya aku sejenius Victor Frankenstein. Pasti sudah dari dulu
aku membongkar makam nenekku dan berusaha untuk menghidupkannya kembali. Walaupun
nenekku menjadi zombie, tapi aku akan bertemu lagi dengannya. Meskipun memiliki
wajah tanpa senyuman, setidaknya beliau bisa melihat cucunya yang terakhir
dilihatnya berumur 10 tahun kini sudah kuliah semester 3. Atau seperti di drama
Korea berjudul Blood dimana seseorang
yang sudah terinfeksi virus vampire akan panjang umur, kebal dari penyakit dan
selalu terlihat muda. Jika aku jenius, pasti aku akan mengembangbiakkan virus
tersebut dan menularkannya pada orang tuaku. Agar mereka panjang umur dan
selalu sehat hingga aku menikah, punya anak, bahkan punya cucu.
Dan satu lagi hal yang lebih konyol : seandainya aku bisa
menciptakan sosokmu yang lain pasti akan lebih mudah saat aku sedang
merindukanmu seperti ini. Andai ada kamu lebih dari satu di dunia ini, apalagi
jika itu adalah hasil penelitianku seperti dalam cerita itu, pasti akan lebih mudah
untukku untuk selalu mengatakan apa yang aku rasakan. Seperti “aku merindukanmu”
atau “aku cemburu, bodoh!”. Meskipun kamu adalah zombie tapi tetap saja cukup
membuatku senang. Karena aku tidak harus mengungkapkan semua lewat tulisan atau
merasa gengsi jika mengungkapkan langsung di depanmu. Tapi bagaimana bisa? Aku melihat
soal fisika yang penuh dengan lambang dan angka saja sudah cukup membuatku
pening. Apalagi harus melakukan penelitian seperti Victor Frankenstein yang
setiap harinya berurusan dengan rumus, lambang, dan angka. Meskipun kini banyak
ahli fisika, mereka tidak akan bisa menghidupkan manusia kembali atau
menciptakan individu baru. Karena itu hanya cerita. Andai aku sejenius Victor
Frankenstein, pasti sudah kulakukan itu semua. But, life isn’t a movie.