Sabtu, 30 Mei 2015

Aku membutuhkan Victor Frankenstein

Dilihat dari judulnya saja sudah terdengar konyol. Jelas, hal itu tidak mungkin ada. Jika ada, aku akan menghabiskan seluruh hidupku untuk berguru pada Victor Frankenstein dan mempelajari cara menciptakan atau menghidupkan kembali manusia. Atau aku akan mempelajari tentang kasus pembunuhan zodiak dimana pembunuhnya mengandalkan zodiak untuk menciptakan manusia baru yang sempurna. Misalnya, bagian tubuh yang sempurna dari seorang Capricorn adalah matanya. Maka si pembunuh akan mengincar orang yang berzodiak Capricorn, membunuhnya, dan mencongkel matanya. Bagian tubuh yang sempurna dari seorang Aquarius adalah tangannya. Maka si pembunuh akan mengincar orang yang berzodiak Aquarius, membunuhnya dan memotong tangannya. Jika bagian tubuh dari ke 12 zodiak sudah terkumpul, maka si pembunuh akan merekatkan potongan-potongan tubuh tesebut dengan lem yang terbuat dari ramuan khusus. Setelah hasil karyanya tercipta, si pembunuh akan memasukkan roh iblis di manusia baru tersebut. Jika roh iblis itu diganti dengan roh orang yang kita cintai, pasti akan lebih sempurna. Kita akan merasa lebih bebas mencintainya dan melakukan apa saja, karena itu adalah karya seni kita sendiri. Setidaknya itu yang terpikir olehku saat membaca cerita ini. Oke, kembali lagi pada cerita Frankenstein. Dalam cerita ini mengisahkan tentang seorang yang melakukan penelitian menghidupkan individu yang telah mati. Ceritanya hampir mirip dengan film Lazarus Effect yang baru-baru ini kutonton. Di film Lazarus Effect lebih modern, mereka menggunakan teknologi canggih dalam penelitannya. Mereka menggunakan serum khusus yang disuntikkan ke objek terlebih dahulu lalu dialiri listrik dengan jumlah Joule tertentu.  Cerita Frankenstein terjadi di tahun 1700.an jadi fasilitasnya masih sederhana dan di sekujur tubuh si objek penuh dengan jahitan. Victor Frankenstein memanfaatkan energi listrik dari beberapa ekor belut listrik. Setelah objek tersebut berhasil hidup kembali, Frankenstein merasa ketakutan dan membuang hasil karyanya. Namun objek tersebut selamat dan menjadi zombie yang hidup selama beratus tahun. Tapi zombie itu masih punya perasaan, buktinya dia berusaha menyelamatkan temannya (kelihatannya dia suka sama temannya itu) dari Naberius. Hebat, bukan? Victor Frankenstein melakukan penelitian ortodoks yang menghasilkan zombie dan zombie itu masih punya perasaan.

Entah kenapa aku jadi berpikir fantasi karena cerita-cerita itu. Aku jadi berimajinasi seandainya aku sejenius Victor Frankenstein. Pasti sudah dari dulu aku membongkar makam nenekku dan berusaha untuk menghidupkannya kembali. Walaupun nenekku menjadi zombie, tapi aku akan bertemu lagi dengannya. Meskipun memiliki wajah tanpa senyuman, setidaknya beliau bisa melihat cucunya yang terakhir dilihatnya berumur 10 tahun kini sudah kuliah semester 3. Atau seperti di drama Korea berjudul Blood dimana seseorang yang sudah terinfeksi virus vampire akan panjang umur, kebal dari penyakit dan selalu terlihat muda. Jika aku jenius, pasti aku akan mengembangbiakkan virus tersebut dan menularkannya pada orang tuaku. Agar mereka panjang umur dan selalu sehat hingga aku menikah, punya anak, bahkan punya cucu.


Dan satu lagi hal yang lebih konyol : seandainya aku bisa menciptakan sosokmu yang lain pasti akan lebih mudah saat aku sedang merindukanmu seperti ini. Andai ada kamu lebih dari satu di dunia ini, apalagi jika itu adalah hasil penelitianku seperti dalam cerita itu, pasti akan lebih mudah untukku untuk selalu mengatakan apa yang aku rasakan. Seperti “aku merindukanmu” atau “aku cemburu, bodoh!”. Meskipun kamu adalah zombie tapi tetap saja cukup membuatku senang. Karena aku tidak harus mengungkapkan semua lewat tulisan atau merasa gengsi jika mengungkapkan langsung di depanmu. Tapi bagaimana bisa? Aku melihat soal fisika yang penuh dengan lambang dan angka saja sudah cukup membuatku pening. Apalagi harus melakukan penelitian seperti Victor Frankenstein yang setiap harinya berurusan dengan rumus, lambang, dan angka. Meskipun kini banyak ahli fisika, mereka tidak akan bisa menghidupkan manusia kembali atau menciptakan individu baru. Karena itu hanya cerita. Andai aku sejenius Victor Frankenstein, pasti sudah kulakukan itu semua. But, life isn’t a movie.

Rabu, 27 Mei 2015

Sebelum kau melempar granat

Aku bertanya-tanya selama menulis ini. Aku pernah kejatuhan buku dari langit, buku itu berwarna seperti madu, manis sekali. Siapa yang tidak ingin memungutnya? Aku berpikir bahwa itu mungkin anugerah. Aku memungutnya, mendekapnya, dan membelai judul buku yang tertera disana yang tak lain adalah sebuah nama. Aku tersenyum saat buku itu jatuh begitu saja, tepat di depanku. Tepat sasaran. Waktu itu aku memang sedang ingin membaca buku. Lalu aku berjalan mengelilingi sebuah kastil tua yang didepannya ada pohon coklat. Aku suka berteduh dibawahnya. Apalagi saat cuaca sedang hangat begini, cuaca favoritku. Aku bertemu dengan seorang gadis cantik yang entah datang dari mana, berkata “Jangan hanya makan coklat. Pulanglah, dan nikmati buku barumu.” Lalu dia menghilang begitu saja. Aku sama sekali tidak takut. Bukankah sudah biasa seseorang datang dan pergi? Lalu aku segera beranjak dan pulang kerumah. Tiba-tiba langit mendung, sebentar lagi akan turun hujan. Segera aku meluncur ke kamarku dan duduk di kursi kayu dan meletakkan buku manis itu di meja. Aku membolak-balik buku itu, ragu. Kubaca judulnya sekali lagi, aku menghela nafas dan membukanya. Di halaman pertama berisi peringatan. AKU BUAS DAN KAU HARUS BERSIAP-SIAP. Keningku berkerut, apa maksudnya ini? Sebuah ancaman? Bukankah buku ini jatuh dari langit? Oke, aku tidak ingin bermain teka-teki sekarang. Lalu kubuka halaman selanjutnya. APA KAU SIAP? TULIS NAMAMU DIBAWAH INI DAN AKAN KUBERI TAHU NAMAKU. Kok jadi kayak film Harry Potter and the Chamber of Secrets? Dimana Harry menemukan sebuah buku harian Tom Riddle yang ternyata adalah Lord Voldemort. Waktu itu Harry menulis dengan pena bulunya “Can you tell me about the chamber of secrets?” dan tulisan itu meresap lalu menghilang. Detik berikutnya sebuah kalimat tiba-tiba muncul di buku itu “No. But I can show you”. Aku jadi berpikir banyak hal tentang ini. Jika buku ini mirip seperti itu, berarti ini permainan. Mungkin semesta sedang menghukumku. FYI, aku seorang muggle yang tidak bisa menyihir. Lalu aku menulis di buku itu, bukan menulis namaku, melainkan “Bisa kau jelaskan padaku tentang cinta?” Ajaib, tulisan itu menghilang. Mungkin buku Tom Riddle itu benar adanya. Hanya saja itu ada di lingkungan Hogwarts yang penuh penyihir. Tapi kini buku semacam itu ada di dunia muggle. Lalu pemilik buku manis itu menjawab “Tidak. Tapi aku bisa menunjukkannya padamu.” Kali ini aku benar-benar menganga maksimal. Jawabannya sama seperti jawabannya Tom Riddle! Jantungku berdegup kencang, wow ternyata  ada sedikit sihir di dunia muggle.


Akhirnya aku mengikuti permainan si pemilik buku manis itu. Saling melontarkan dan menjawab pertanyaan. Bahkan aku pernah ditariknya masuk ke dalam buku itu dan bertemu dengan si pemilik buku manis itu. Biar ku deskripsikan, dia seorang pria yang wajahnya sangat manis, hidungnya mancung, matanya lebar,warna  kulitnya seperti sampul buku itu, dan memiliki senyum menawan. Setidaknya itu kesan pertamaku. Oh iya, dia seorang penyihir. Penyihir yang memiliki kulit sewarna madu, manis sekali :) Hari berganti hari, bulan berganti bulan, aku mulai jatuh cinta pada penyihir itu. Sangat tidak tahu diri. Seorang muggle jatuh cinta pada penyihir? Sebenarnya itu bukan masalah besar. Yang jadi masalah, aku tidak punya kekuatan. Tongkat-tongkat sihir yang dijual itu tidak ada yang cocok untukku meskipun aku memaksanya. Jelas, aku tercipta sebagai orang yang tidak istmewa. Aku pasrah, aku tidak punya apa-apa. Tongkat sihir, sapu terbang, ramuan-ramuan keberuntungan, semua aku tak punya.  Aku hanya hafal satu mantera mematikan “Avada Kedavra” yang  jika seseorang mengayunkan mantera itu kepada musuh, musuh itu akan langsung mati. Menarik, tapi tidak akan pernah berhasil jika yang mengayunkan mantera itu adalah aku. Banyak orang bilang, tidak ada penyihir yang baik. Dalam hati aku menyangkal pernyataan itu. Muggle pun tidak ada yang benar-benar baik. Semua sama saja, bukan? Tapi ada benarnya juga, penyihir baik pun bisa membunuh orang dengan sekali ayunan mantera. Mereka hafal berbagai macam mantera yang bisa menjatuhkan, menggores luka di sekujur tubuh, bahkan membuat orang melambung menjadi asap di udara alias mati. Bagaimana dengan pria berkulit madu itu? Pria yang sudah menunjukkan padaku segala hal tentang cinta dan sudah berhasil membuatku mencintainya? Biar bagaimanapun dia juga seorang penyihir. Bisa saja dia menggunakan sihir di dunia muggle meskipun itu terlarang. Lantas apa maksudnya menunjukkanku segala tentang cinta? Dia bisa saja menyembunyikan tongkat sihir dibalik mantelnya dan siap kapan saja memanteraiku. Astaga benar sekali, dia bisa membunuhku. Mengucapkan mantera mematikan yang sudah pasti dia hafal diluar kepala itu akan segera membuatku langsung menghembuskan nafas terakhir. Mengapa aku tercipta sebagai seorang muggle? Aku tidak punya senjata apa-apa saat menghadapi seorang penyihir walaupun aku mencintai penyihir itu. Aku tidak tahu harus berlari kemana jika mantera itu ditujukan padaku. Aku tidak tahu harus bersembunyi dimana saat mantera “Avada Kedavra” diayunkan kearahku. Dan aku hanya bisa memeluk buku bersampul warna madu itu dan berdoa semoga dia bukan penyihir yang jahat. Ah, andai aku bisa membuatnya gila oleh ramuan cinta. Sayangnya, aku hanya seorang muggle.

Sabtu, 02 Mei 2015

Harusnya kemarin

Kenapa kau lambat sekali?
Harusnya pergi bulan Desember
Saat Santa turun
Membelai rambutmu, menghapus dosa

Kenapa kau buru-buru sekali?
Harusnya menunggu Desember
Saat banyak lilin-lilin
Turut berdoa mengiringi

Harusnya di bulan Desember
Beri dia waktu bersastra
Mengalungkan lafadz Tuhan di lehermu
Berbicara tentang mantera, janji

Harusnya saat itu
Dia memberimu nafas, bahkan buatan
Agar kalian dipeluk semesta
Milik kalian

Aku bukan orang disini
Hanya bunga musim semi
Tak punya nama
Biasanya diinjak orang

Harusnya kau tetap duduk
Bertasbih, berkerudung, meniup lilin
Tunggu hingga ia datang
Ia membawa sebait puisi

 
biz.