Seperti biasa, dia datang sebagai penyembuh luka. Lagi-lagi
tersenyum manis dan berkata ringan “boleh aku duduk disini?”. Aku tidak
tertegun, tidak tersenyum, juga tidak menolak. Aku memaklumi, dia memang selalu
seperti ini. Selalu. Dengan hati yang terasa ringan karena senyumannya aku
berkata “duduklah, aku tahu kau hanya singgah.” Akhirnya dia duduk. Aku terus
menghitung waktu. Ratusan ribu detik terlewati, waktu belum berhenti dan aku
belum merasa lelah ataupun menyerah. Aku masih bergeming, tetap duduk lemas
tanpa berani menoleh. Tak bisa kupungkiri bahwa semua berubah sejak dia berkata
“hai” untuk kesekian kali. Aku tetap duduk, memejamkan mata karena terlalu
lelah. Aku tidak menunggu apapun atau siapapun. Aku hanya bersiap akan dua hal,
meringankan hati saat dia berpamitan dan menyiapkan hati saat dia terus duduk
disini tanpa pergi lagi. Masih menghitung dalam mata terpejam dan hati yang
belum sembuh total, dia akhirnya membuka suara “aku kembali atas lukamu. Aku
akan tinggal.” Tanpa menoleh aku menjawab “sementara?”. Dan dia menjawab “belum
tahu. Aku ingin terus duduk disini, di kursi ini, berdua denganmu, dan
menghitung waktu.” Dia memang berkata "hai" berkali-kali, tapi ini baru pertama kali. Dan ya, aku memiliki plester. Semoga dia menyembuhkan tanpa meninggalkan bekas.
Senin, 10 Agustus 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar