Aku merebahkan tubuhku di ranjang dengan tangan bersedekap. Aku menutup mata sejenak dan membukanya lagi. Saat membuka mata aku melihat banyak Fluorescent berbentuk bintang yang tampak menyala di dinding kamarku. Jangan takut gelap, jika ada keindahan di saat gelap. Sepenggal kata itulah yang terlintas di pikiranku saat melihat Fluorescent bintang itu. Aku menutup mata lagi dan membebaskan tangan kanan dan kiriku. Tangan kananku menyentuh sesuatu, sesuatu yang sangat tidak asing bagiku. Sebuah bantal berbentuk hati berwarna pink dengan tulisan “Our love is forever”. Hatiku miris membaca tulisan itu. Tanpa kusadari, aku menangis. Dengan cepat aku mengusap air mataku. Aku menatap ponselku. Benda itu diam, tidak bersuara sedikitpun. Iseng aku mengecek dialling list-ku. Ada panggilan masuk dari Rio dua hari lalu. Astaga, kenapa masih ada nomor itu di ponselku! Aku segera menekan tombol phonebook, mencari nama Rio dan menghapusnya. Percuma aku menghapus nomornya, nomor yang sudah kukenal selama bertahun-tahun itu pasti sudah kuhafal diluar kepala. Yang aku inginkan adalah, ingin menghapus nama Rio BUKAN HANYA diponselku, TAPI JUGA dihati dan pikiranku. Aku menggeleng cepat, aku tidak mau memikirkannya! Aku membuka facebook untuk mengalihkan pikiranku tentang Rio. Saat tampil home facebook-ku, aku scroll ke bawah dan melihat facebook Rio. Dia baru meng-update status. “Aku merasakannya lagi, untuk yang kedua.” Aku mengurungkan niatku untuk membaca komentar-komentar di status itu. Aku menangis dan menutup wajahku dengan bantal berbentuk hati itu, karena itulah temanku saat itu. Aku terlalu lemah untuk menerima semuanya.
***
Pagi itu, aku berangkat sekolah lebih siang dari biasanya. Memang sengaja aku berangkat agak siang. Karena untuk menghindari berpapasan dengan Rio atau semacamnya. Dan untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan sahabatku yang suka mengintrogasiku ketika aku ke sekolah dengan mata sembab. Ketika aku menaruh tas dikelas, sebuah pemberitahuan berbunyi bahwa upacara hari Senin akan segera dimulai. Aku berlari menyusul teman-temanku yang sudah mulai berbaris dilapangan. Aku melihat Rio memimpin barisan. Aku menarik nafas panjang dan menguasai diriku. Melihatnya saja membuat hatiku nanar. Apalagi berbincang-bincang dan menatap matanya. Apa yang bisa kupertahankan dari semua ini? Ketika upacara, berkali-kali mataku melempar pandangan kearahnya. Aku menghela nafas panjang dan tersenyum. Ini pilihannya, dan aku harus menghormatinya. Kataku dalam hati. Kata batinku itulah yang menjadi motivasiku saat itu. Tuhan telah memilihkan jalan ini untukku. Aku yakin aku bisa melewatinya.
***
Dikelas pun aku tak banyak bicara. Aku sama sekali tidak memandangnya. Karena aku tidak mau melakukan itu. Aku juga menutup telinga saat mendengar suaranya. Ingin rasanya aku pindah kelas waktu itu. Karena hatiku sakit ketika mendengar dia bercerita tentang warna hidupnya saat itu. Aku menyadari, bahwa amat sangat berwarnanya hidup dia tanpa aku. Dia tidak membutuhkan aku lagi, dia tidak menginginkan aku lagi. Aku tersenyum, entah senyum karena bahagia melihatnya senang atau senyum paksaan untuk menutupi bahwa aku terluka.
Bel istirahat berbunyi. Aku berbalik dan menaruh buku dan alat tulisku di tas. Saat aku berbalik itulah dia menatapku. Aku menyimpulkan secuil harapan dari tatapan itu. Tapi aku membuang jauh-jauh harapan itu, karena dia tidak lagi membutuhkan aku.
***
Besoknya, aku mulai bisa beradaptasi hidup tanpa perhatian darinya. Karena memang salahku selama ini terlalu bergantung padanya. Aku mulai bisa tersenyum saat ini. Aku menyadari bahwa bunga masih bisa mekar tanpanya. Meskipun sulit diawal, tapi aku harus mencoba. Tidak ada kata sulit jika aku mau berusaha. Tapi masih tersisa rasa sakit itu. Aku mulai bercerita ke sahabatku tentang apa yang terjadi. Setelah aku tutup mulut kemarin. Aku mulai bisa berkonsentrasi saat belajar. Dan ada sahabatku yang perhatian kepadaku sepertinya. Terima kasih Tuhan atas semuanya.
Sepulang sekolah aku mengikuti bimbel di daerahku. Aku bergurau dengan temanku untuk sejenak saja melupakan semua tentangnya. Rasa sakit itu hilang sesaat. Dan saat itulah, seseorang memandangku dari kejauhan sana..
0 komentar:
Posting Komentar