Namaku Mutiara Aurora Siregar. Umurku 16 tahun. Aku mempunyai hobby menulis. Aku tinggal di sebuah panti asuhan di Jakarta. Kalian pasti membelalakkan mata saat aku menyebut panti asuhan sebagai tempat tinggalku. Iya! Aku yatim piatu. Aku tinggal di panti asuhan yang bermayoritas Katolik ini ketika aku berusia 3 tahun. 13 tahun lamanya aku tinggal di panti asuhan ini. But, aku adalah seorang muslim. Aku tetap tersenyum meskipun aku tidak memiliki keluarga. Bu Rina sebagai ibu panti sudah seperti ibu kandungku sendiri. Beliau-lah yang mengajariku arti kehidupan. Beliau selalu membuatku ceria. Kau pahlawanku Bunda Rina!
Bunda Rina selalu ada buat aku, termasuk tentang masalah Gleen. Huft, aku rasa tidak masalah jika hanya sekedar admire. Bukankah perbedaan bukan segalanya?
***
Sekarang adalah seminggu awal bulan Desember. Sudah pasti sebagian besar warga panti sibuk mempersiapkan Natal. Meskipun ini berlainan dengan keyakinanku, aku tetap membantu mereka.
“Tia, tolong kamu ambil lampu kerlip itu ya?” kata Gleen mengagetkanku.
“Eh, iya.” Jawabku salting.
Aku beranjak dari tempat duduk. Ketika aku berdiri, tiba-tiba aku terjatuh.
“Aww.” Pekikku.
Aneh. Kakiku terasa lumpuh.
“Kamu kenapa, Tia? Kakimu sakit kah?” tanya Gleen panik.
“Ng, gak papa, Gleen. Mungkin cuma kram. Aku tadi nggak gerakan pendinginan setelah basket.” Aku tertawa.
Gleen manggut-manggut.
“Ya sudah, kamu istirahat saja. Lagian sudah jam 9 malam. Waktunya cewek untuk tidur.” Gleen tersenyum.
Senyumnya membuatku merasa terlindungi.
“Maaf ya, Gleen. Besok aku bantuin deh.” Kataku tersenyum.
Gleen membalas senyumku.
Gleen membantuku berdiri. Ketika aku berdiri, kakiku terasa lumpuh, mati rasa. Aku akan terjatuh lagi ketika kedua tangan Gleen menangkapku. Refleks, kami bertatapan.
Tiba-tiba Gleen menggendongku. Aku terkejut dengan perlakuan Gleen.
“Jangan menolak.” Kata Gleen sebelum aku sempat berkomentar.
Pipiku memerah. Jantungku berdebar kencang. Ya Allah..
Setiba di kamar, Gleen membawaku ke tempat tidur. Ketika Gleen hendak pergi, aku mencekal tangannya.
“Makasih ya, Gleen.”
Gleen mengangguk dan meninggalkan kamarku.
Setelah Gleen menghilang di depan pintu kamar, aku mengambil buku harianku yang memang sengaja kuletakkan dibawah bantal. Aku membuka halaman kosong dan mulai menulis.
07-12-2010
Hari ini aku capek banget karena latihan kebugaran saat OR. Ini yang membuat kakiku kram hingga sekarang. Rasanya seperti lumpuh.
Gleen. Dia baik sekali. Dia menggendongku menuju kamar saat kakiku terasa lumpuh. Aku nyaman didekat dia. Jantungku berdebar saat bersamanya. Tatapan matanya membuatku.. entahlah. Apa ini pertanda bahwa aku mencintainya?
Aku membaca ulang tulisanku di buku harian dan menutupnya. Aku memandang kakiku yang masih mati rasa. Besok juga hilang lumpuhnya, kataku dalam hati. Aku menarik selimut dan membenamkan diriku kedalamnya.
***
Keesokan harinya..
Aku bangun pukul 04.30 pagi. Aku beranjak dari tempat tidur untuk mengambil air wudhu. Ketika aku bangun, kakiku sembuh, sudah tidak lumpuh lagi. Alhamdulillah. Ketika aku keluar dari kamar, aku berpapasan dengan Gleen.
“Selamat pagi, Mutiara.” Sapanya.
“Pagi juga, Gleen.” Balasku.
Dia memperhatikan kakiku.
“Sudah tidak lumpuh.” Dia tersenyum.
“Eh, iya. Kemarin hanya kram.” Jawabku agak salting.
Senyumnya saja membuatku salting. Astaga!
“Lain kali jangan dipaksakan kalau OR.” Pesannya.
“Ok, aku ambil air wudhu dulu ya, Gleen.” Kataku agak menghindar karena salting.
“Eh, iya. Sampai ketemu nanti.”
Ketika berangkat sekolah, aku setengah berlari karena waktu yang limit. Ketika berlari, aku terjatuh. Kakiku lumpuh lagi! Lututku berdarah karena terjatuh. Ada apa denganku? Kedua orang temanku yang melihatku terjatuh, langsung menghampiriku.
“Apa yang terjadi?” tanya salah seorang temanku.
“Kakiku terasa lumpuh.” Jawabku.
Tanpa basa-basi mereka segera membopongku sampai tiba di sekolah.
Alhasil! Aku terlambat. Tapi untunglah satpam di sekolahku masih peduli dengan keadaanku. Dan akupun dijinkan masuk.
Kedua temanku mengantarkanku ke kelas. Beruntunglah guru pengajar belum datang. Syukurlah. Iseng aku mengeluarkan buku harianku dan mecari halaman kosong disana. Ketika akan menulis, tanganku sulit untuk digerakkan. Bahkan untuk menulis satu kata pun sangat sulit. Ya Allah ada apa denganku?
***
Aku menderita ataxia. Penyakit ini sudah mengganggu sistem gerakku. Aku sungguh kasihan pada diriku sendiri. Ya Allah, kuatkan aku.
“Mutiara?” panggil Bunda sambil memegang bahuku.
Bunda melihat mataku yang sembab dan mengusap pipiku.
“Yang tabah ya, nak.” Kata Bunda sambil menahan air matanya. Aku tahu Bunda ingin menangis. Bunda merasakan apa yang kurasakan.
“Mengapa harus aku, Bunda? Mengapa aku diberikan penyakit seperti ini?” aku menutup mulutku karena tangisku yang semakin keras.
Bunda memelukku dan mengusap rambutku dengan sayang. Sepertinya beliau ikut menangis.
“Tuhan punya rencana yang lebih indah, nak.” Kata Bunda dengan suara bergetar.
“Aku ingin bermain basket, Bunda.” Kataku terisak.
Bunda melepaskan pelukannya.
“Tunggu sebentar.” Kata Bunda tiba-tiba.
Dua menit kemudian, beliau kembali dengan membawa kursi roda yang didorongnya.
“Ini milik siapa, Bunda?” tanyaku heran.
“Ini milikmu, nak. Gleen yang membelinya untukmu dengan tabungannya sendiri.” Jelas Bunda.
Aku beranjak dari tempatku duduk dan ternyata kakiku tidak lumpuh. Aku berlari mencari Gleen. Aku menemukan sosok Gleen di gereja di dekat panti. Dia sedang berdo’a sendirian disana. Aku memperhatikan Gleen dari pintu gereja. Samar-samar aku mendengarkan suara Gleen.
“Di malam penuh kemenangan ini, aku berdoa pada-Mu Bapa, Rajaku dari jaman purbakala yang menentukan kehidupan di atas bumi. Aku berharap mukjizat-Mu Tuhan. Aku ingin dia ceria seperti dulu. Aku tidak ingin kehilangan senyum seorang Mutiara. Karena aku menyayanginya, Tuhan.”
Gleen, dia mendoakanku. Aku tak kuasa menahan air mataku. Aku menutup mulutku agar Gleen tidak mendengar tangisku. Aku menjauh dari pintu gereja, karena aku tak sanggup mendengar ketulusan do’a Gleen. Tangisku pecah. Aku terjatuh, kakiku terasa lumpuh. Aku menyentuh dadaku, menahan sakit disana.
“Kenapa harus aku ya Allah?” Getirku pahit.
Sakit di dadaku semakin nyesak. Kakiku lumpuh, aku tidak bisa berjalan. Tiba-tiba semua terasa gelap.
***
Sekarang aku berada di sebuah istana yang megah. Ada seorang peri yang cantik sekali. Disini banyak kupu-kupu yang berterbangan. Aku berlari mengejar kupu-kupu itu. aku tidak lumpuh. Aku sembuh! Aku tertawa bergembira. Rasanya seperti di surga. Aku menghampiri peri.
“Peri, aku ada dimana?” tanyaku dengan mata yang berbinar-binar.
“Kamu ada di sebuah istana, Mutiara.” Katanya sambil tersenyum. Senyum yang sangat manis.
“Tapi mengapa hanya ada aku disini? Kemana adik-adik di panti? Kemana Bunda? Kemana Gleen?” tanyaku bingung.
“Kau tentu belum berpamitan kepada mereka. Pulanglah untuk berpamitan kepada mereka.” Kata peri itu.
“Tapi aku tidak rela meninggalkan tempat ini, tempat ini sungguh indah.” Kataku riang.
“Tapi mereka menunggumu, Mutiara.”
Setelah berkata seperti itu, peri itu menghilang.
Aku membuka mata perlahan.
Aku melihat Bunda, adik-adik di panti, dan juga Gleen berada disampingku. Bunda mengelus rambutku.
“Kamu sudah sadar, nak.” Kata Bunda sambir menahan air mata di pelupuk matanya.
“Bunda kenapa nangis?” tanyaku dengan suara agak serak.
Bunda cepat-cepat mengusap air matanya.
“Bunda, aku tadi berada di sebuah tempat yang sangat indah. Bolehkah aku kesana lagi, Bunda?” aku tersenyum.
Bunda terdiam, dan Gleen menangis.
Aku menoleh ke arah Gleen.
“Gleen, jangan menangis. Aku baik-baik saja. Terima kasih atas kursi rodanya, Gleen.” Aku tersenyum pada Gleen.
“Pergilah, nak. Kami mengijinkanmu pergi.” Kata Bunda menangis.
“Maafkan semua kesalahanku, Bunda, adik-adik semua, dan Gleen maafkan aku.” Aku sudah sangat sulit untuk bersuara.
Gleen memegang tanganku, Bunda dan adik-adikku memelukku.
Aku merasa nyaman di pelukan mereka. Sesaat kemudian, aku kembali lagi ke tempat yang indah itu. Dan aku melihat kedua orang tuaku disana.
0 komentar:
Posting Komentar